Keberhasilanpelaksanaan Program Rehabilitasi Mangrove Nasional akan memberikan manfaat yang signifikan, baik bagi Indonesia maupun bagi seluruh dunia. Mangrove yang sehat mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir, melindungi mereka dari risiko bencana alam, mendukung perikanan berkelanjutan, menjaga cadangan karbon dalam jumlah yang
LaporanEJF menyorot masalah global yang terus meningkat Laporan terbaru yang diterbitkan organisasi lingkungan di organisasi Inggris, Ecological Justice Foundation, telah mendokumentasikan bahwa besarnya konsumsi udang di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan mata pencaharian dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir di negara-negara
asmepNy. Kawasan yang sudah rentan dihadapkan dengan meningkatnya permukaan laut, peningkatan suhu laut, dan topan yang lebih parah, ucap laporan baru ini WASHINGTON, D. C, 19 Juni 2013 – Menurut laporan ilmiah yang diterbitkan oleh Bank Dunia hari ini, kemugkinan meningkatnya suhu bumi dua dekade mendatang akan memperberat tantangan pembangunan di kawasan Asia Tenggara dan berpotensi merusak perbaikan pembangunan yang telah tercapai. Laporan Turunkan Suhu Iklim Ekstrim, Dampak Regional, dan Persiapan menuju Ketangguhan Turn Down the Heat Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience, dipersiapkan untuk Bank Dunia oleh Potsdam Institute untuk Riset Dampak Iklim dan Analisa Iklim. Laporan ini adalah lanjutan dari laporan Bank Dunia terbitan tahun lalu yang menyimpulkan bahwa suhu bumi akan meningkat sebanyak 4 derajat Celsius[1] 4°C dari tingkat pra-industri akhir abad ini apabila tidak ada tindakan terkoordinir mulai dari sekarang. Laporan baru ini mengkaji dampak dari peningkatan suhu bumi sekarang ini 2°C[2] dan 4°C terhadap produksi pertanian, sumber air, ekosistem pesisir, dan kota-kota di kawasan Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan dan AsiaTenggara. Asia Tenggara’ terdiri dari Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Thailand, Timor-Leste dan Vietnam. “Laporan baru ini menggambarkan scenario masa depan yang mengkhawatirkan – yang dapat kita alami di masa hidup kita,”ucap Presiden Grup Bank Dunia, Jim Yong Kim. “Para ilmuwan memberitahu kita bahwa apabila suhu bumi meningkat sebanyak 2°C – yang dapat terjadi dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun – akan mengakibatkan kekurangan makanan, arus panas dan topan yang lebih ganas. Dalam jangka waktu pendek, perubahan iklim yang telah terjadi dapat menghancurkan kehidupan, dan harapan masyarakat yang tidak terlibat dalam peningkatan suhu bumi ini.” Laporan ini menggabungkan riset yang telah dikaji peer review dan didukung dengan computer modeling. Laporan ini menggambarkan dua skenario peningkatan ekstrim sebanyak 4ºC dan peningkatan yang sedikit lebih rendah di 2ºC. Laporan ini mengungkap bagaimana peningkatan suhu global semakin mengancam kesehatan dan mata pencaharian masyarakat paling rentan. Di Afrika Sub-Sahara, kekurangan pangan akan semakin menyebar, sedangkan di Asia Selatan, pergeseran pola hujan akan mengakibatkan beberapa daerah terendam air; sementara daerah lain akan kekurangan air untuk pembangkit listrik, irigasi, atau untuk minum. Di Asia Tenggara, degradasi dan hilangnya terumbu karang akan berdampak buruk pada pariwisata, persediaan ikan, dan menjadikan penduduk dan kota-kota pesisir menjadi lebih rentan terhadap badai. Negara-negara di Asia Tenggara sangat rentan atas meningkatnya tingkat permukaan laut, peningkatan suhu yang ekstrim, angina puyuh yang lebih parah, peningkatan suhu laut, serta peningkatan keasaman. Hal ini dikarenakan banyak kepulauan yang terletak di sabuk angin puyuh tropis tropical cyclone belt dan memiliki tingkat kepadatan penduduk daerah pesisir yang cukup tinggi. “Banyak negara-negara di Asia Tenggara yang telah melakukan tindakan terkoordinir untuk menanggapi dampak perubahan iklim, namun laporan ini memberitahu kita bahwa masih banyak yang perlu kita lakukan. Kita perlu meningkatkan dan mempercepat tindakan-tindakan ini untuk mengurangi kerentanan penduduk atas risiko iklim, terutama mereka yang miskin dan rentan,” kata Axel van Trotsenburg, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik. Laporan ini mengkaji risiko iklim yang paling ekstrim untuk Asia Tenggara untuk skenario peningkatan suhu bumi sebesar 2ºC Tingkat permukaan laut meningkat lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya dan angina puyuh akan lebih parah. Laporan ini menemukan bahwa peningkatan permukaan laut sebanyak 50cm di tahun 2050an mungkin sudah tidak terhindari sebagian hasil dari emisi masa lalu, dan di beberapa kasus, dampak ini dapat dirasakan lebih cepat. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah menghasilkan terendamnya daerah lahan hijau untuk jangka waktu yang panjang, dan penggenangan daerah delta dengan masuknya air laut yang akan menyerap ke persediaan air minum. Laporan ini juga memproyeksikan bahwa topan akan menjadi lebih ganas kategori 4 dan 5. Tiga delta sungai dari Mekong, Irrawaddy dan Chao Phraya – semua dengan lahan yang sebagian besar dibawah 2m diatas permukaan laut – berisiko tinggi. Pertanian, pertanian laut, perikanan, dan pariwisata adalah sektor-sektor yang paling rentanterhadap perubahan iklim di delta-delta ini. Kota-kota pesisir dengan populasi yang semakin padat dan aset fisik yang semakin banyak juga rentan akan badai yang semakin parah, peningkatan permukaan air laut jangka panjang, dan banjir pesisir mendadak. Bangkok, Ho Chi Minh, Jakarta, Manila, dan Yangon adalah beberapa kota yang diproyeksikan paling terkena dampak. Terumbu Karang akan mengalami stres sangat parah. Dengan semakin tingginya tingkat keasaman laut, ada kemungkinan besar 50 persen probabilitas terjadinya coral reef bleaching mencapai tahun 2030. Proyeksi ini mendindikasikan bahwa semua terumbu karang di Asia Tenggara akan mengalami stress yang sangat parah mencapai tahun 2050, berdampak buruk pada perikanan laut, pariwisata dan mata pencaharian. Ada 138 juta orang yang hidup di daerah pesisir dan di sepanjang 30km daerah terumbu karang yang akan menderita dampak sosial, ekonomi, dan nutrisi sebagai akibat dari perubahan iklim ini. Mata pencaharian desa dan daerah pesisir terancam. Laporan ini memproyeksikan bahwa persediaan ikan di Laut Jawa dan Teluk Thailand akan berkurang dikarenakan meningkatnya suhu air dan menurunnya tingkat oksigen. Ukuran rata-rata maksimum badan ikan akan berkurang secara signifikan mencapai tahun 2050. Delta Mekong menghasilkan 50 persen dari total hasil produksi pertanian Vietnam dan ekspor beras Vietnam. Meningkatnya permukaan laut sebanyak 30 cm yang mungkin terjadi di tahun 2040 dapat mengurangi produksi beras sebanyak 12 persen. “Negara-negara Asia Tenggara perlu bantuan untuk mengorientasi ulang rencana pembangunan mereka agar isu perubahan iklim dimasukkan ke dalam proses perencanaan, membangun dari upaya-upaya yang sudah dilakukan. Pemerintah Vietnam telah mencari bantuan Bank Dunia untuk menanggapi tantangan perubahan iklim dan kesempatan untuk bergeser ke pertumbuhan rendah karbon dan tahan iklim. Filipina telah memberlakukan Hukum Perubahan Iklim danUndang-undang Pengurangan Risiko dan Manajemen Bencana Nasional yang merupakan perbaikan besar bagi negara ini sehubungan dengan tantangan perubahan iklim,” ucap van Trotsenburg Bukti yang dipaparkan di seri Turn Down the Heat mendemonstrasikan pentingnya kerja Bank Dunia terhadap mitigasi iklim, adaptasi, dan manajemen risiko bencana untuk pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Bank Dunia membantu 130 negara di dunia menanggapi perubahan iklim. Tahun lalu Bank Dunia menggandakan bantuan finansialnya untuk adaptasi – dari USD 2,3 miliar di tahun anggaran 2011 menjadi USD 4,6 miliar pada 2012. Bank Dunia juga meningkatkan bantuannya untuk proyek-proyek yang membantu masyarakat miskin meningkatkan ketahanan mereka serta mengurangi emisi. Di Filipina risiko terbesar adalah dampak badai yang semakin parah bagi pemukiman informal dan masyarakat pesisir. Bank Dunia bekerja bersama dengan pemerintah Filipina guna memperkuat kapasitas negara untuk menanggapi tantangan pembangunan ini. Bersama dengan mitra pembangunan lainnya, Bank Dunia juga membantu persiapan proyek prioritas untuk meningkatkan manajemen banjir di Metro Manila Di Vietnam beberapa dampak terbesar seputar banjir di daerah perkotaan yang disebabkan oleh masuknya air laut di Delta Mekong. Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah Vietnam dalam serangkaian aksi kebijakan untuk memitigasi dampak perubahan iklim dan mendiskusikan program di Ho Chi Minh dan Delta Mekong untuk menanggapi ancaman ini. Di Thailand, banjir parah yang diderita Bangkok di tahun 2011 merupakan gambaran apa yang akan diderita kota ini dengan suhu bumi yang kian menghangat. Setelah banjir ini, Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah Thailand untuk menghasilkan rekomendasi bagaimana cara yang lebih baik untuk mengelola banjir. [1] 4 degrees Celsius = degrees Fahrenheit [2] 2 degrees Celsius = degrees Fahrenheit Untuk mendapatkan laporan Turn Down The Heat Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience silahkan kunjungi Visit us on Facebook Be updated via Twitter For our YouTube channel Read the Development in a Changing Climate blog
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia – sebuah negara kepulauan yang beragam dengan lebih dari 300 kelompok etnis – telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sejak berhasil mengatasi krisis keuangan Asia pada akhir ini, Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, ekonomi terbesar kesepuluh di dunia dalam hal paritas daya beli. Indonesia juga telah meraih capaian luar biasa dalam pengurangan kemiskinan dengan menurunkan lebih dari separuh angka kemiskinan sejak tahun 1999 menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2019 sebelum pandemi COVID-19 melanda. Tahun Ini Indonesia memegang Presidensi G20, mendorong semua negara anggotanya untuk bekerja sama dalam mencapai pemulihan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan dari berbagai dampak pembangunan ekonomi Indonesia mengikuti rencana pembangunan jangka 20 tahun, dari tahun 2005 hingga 2025. Rencana tersebut dibagi menjadi rencana jangka menengah 5 tahun yang disebut RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, masing-masing dengan prioritas pembangunan yang berbeda. Rencana pembangunan jangka menengah yang berjalan saat ini merupakan tahap terakhir dari rencana pembangunan jangka 20 tahun tersebut di atas. Rencana pembangunan ini bertujuan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dengan meningkatkan modal manusia dan daya saing di pasar kondisi perekonomian yang terdampak oleh pandemi, status Indonesia berubah dari negara berpenghasilan menengah ke atas menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah mulai Juli 2021. Pandemi juga secara sebagian mengurangi kemajuan terakhir dalam pengurangan kemiskinan, dari angka terendah yang pernah dicapai yaitu 9,2 persen pada September 2019 menjadi 9,7 persen pada September proses pemulihan perekonomian, pada tahun 2022 pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan mencapai 5,1 persen , didukung oleh meningkatnya ekspor komoditas serta kebijakan fiskal yang bersifat akomodatif untuk mengatasi pandemi. Namun demikian, kondisi global yang semakin menantang dan berbagai dampak berkepanjangan dari COVID-19 dapat menghambat pemulihan tersebut. Indonesia mampu mencatatkan keberhasilan dalam mengurangi angka stunting dari 37 persen pada tahun 2013 menjadi 24,4 persen pada tahun 2021. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan pembangunan modal manusia Indonesia yang kuat dan produktif. Indeks Modal Manusia Bank Dunia mengungkap bahwa hilangnya pembelajaran yang disebabkan oleh penutupan sekolah-sekolah selama pandemi COVID-19 akan berdampak pada generasi penerus Dunia mendukung dilaksanakannya tanggap darurat COVID-19 oleh pemerintah Indonesia, termasuk upaya penguatan unsur-unsur tanggap darurat pandemi, dukungan bagi program vaksinasi COVID-19 gratis pemerintah, peningkatan bantuan sosial maupun sistem perawatan kesehatan, serta berbagai tindakan yang diambil untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan. Di Indonesia, perubahan iklim dapat berdampak pada ketersediaan air, kesehatan dan gizi, pengelolaan risiko bencana, serta pembangunan wilayah perkotaan – khususnya di kawasan pesisir, yang berimplikasi pada kemiskinan dan memiliki hutan hujan tropis ketiga terluas di dunia 94,1 juta hektare, dan merupakan tempat bagi lahan gambut terbesar di dunia 14,9 juta hektare serta hutan bakau 3,31 juta hektare. Beragam sumber daya alam tersebut menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar yang dapat mengurangi berbagai dampak perubahan iklim, sangat penting bagi kelangsungan mata pencaharian rakyat Indonesia, serta mendukung pembangunan jangka panjang Indonesia. Bank Dunia mendukung berbagai upaya Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan maupun beradaptasi terhadap iklim dalam rangka menjalankan suatu aksi iklim yang berdampak di sektor-sektor seperti tata guna lahan, kelautan, dan energi, serta dengan menggerakkan keuangan untuk iklim climate financing. Adapun kegiatan Bank Dunia termasuk dukungan terkait program pemerintah Indonesia dalam Rehabilitasi Mangrove Nasional serta perancangan dan penerapan beberapa instrumen penetapan harga karbon carbon pricing karena peran pentingnya dalam meningkatkan pendanaan bagi berbagai aksi iklim. Pembaharuan Terakhir 5 April 2022
Composition de la population active du Canada La population active du Canada selon la définition qu’en donne Statistique Canada est constituée de la population civile âgée de 15 ans et plus à l'exclusion des pensionnaires d'établissements qui est occupée ou en chômage. Les personnes occupées sont celles qui ont un emploi ou une entreprise et les personnes au chômage, celles qui sont sans emploi, sont disponibles pour travailler et recherchent activement du travail. Selon l’Enquête sur la population active EPA, la population active totale du Canada était de 18,7 millions en 2011; les natifs du Canada représentaient 14,4 millions 77,1 % du total et les immigrants, près de 4 millions 21,2 %. Le reste, soit 300 000 personnes 1,7 %, était constitué des immigrants non reçus » membres de la population active, parmi lesquels on compte les travailleurs étrangers temporaires, les étudiants étrangers, les demandeurs d’asile munis d’un permis de travail valide et les autres personnes non incluses dans les catégories des natifs du Canada ou des immigrants de bas de page 2 La figure 1 montre la composition de la population active du Canada pour la population née au Canada et la population immigrante. Au sein de cette dernière, la plupart des personnes actives sont des immigrants de longue date, c’est-à -dire qui ont été reçus plus de dix ans auparavant. Les immigrants reçus très récemment depuis cinq ans ou moins et les immigrants récemment reçus de cinq à dix ans auparavant constituent des proportions beaucoup plus faibles. Figure 1 Composition de la population active du Canada, 2011 Tableau 1 Composition de la population active, selon l’âge et le statut d’immigrant, 2011 En pourcentage % Âge 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Immigrants reçus 2,2 5,1 8,4 9,9 11,7 14,1 14,2 12,5 10,1 7,4 4,3 Très récents 4,5 7,2 17,8 20,9 18,6 13,5 8,9 4,6 2,5 0,9 0,5 Récents 4,7 7,8 10,4 13,4 18,6 18,9 12,6 7,2 3,7 1,6 1,1 De longue date 1,1 4,1 6,0 6,8 8,7 13,1 15,7 15,4 13,2 10,1 5,9 Natifs du Canada 6,9 10,7 11,1 10,6 9,8 10,3 11,9 12,0 8,8 5,0 2,6 Total 5,8 9,6 10,7 10,6 10,3 11,1 12,4 12,0 9,0 5,5 3,0 Source Enquête sur la population active, 2011. Situation récente du marché du travail Les problèmes économiques mondiaux qui se sont présentés au cours des dernières années ont eu des conséquences néfastes pour l’économie et le marché du travail canadiens. Dès le début du ralentissement économique mondial, bon nombre de prévisionnistes ont indiqué à juste titre que le Canada était dans une position solide pour survivre aux difficultés qui se dessinaient; toutefois, les problèmes de rendement structurels éprouvés par les États-Unis, notre principal partenaire commercial, ont néanmoins freiné le rendement économique du Canada, ce qui s’est répercuté sur le marché du travail intérieur. L’examen des deux récessions précédentes qu’a connues le Canada est intéressant. Ces récessions – qui ont commencé en 1981 et en 1990 – présentent des différences dans le rendement du marché du travail lorsqu’elles se sont installées, ainsi que des différences durant leur période de reprise respective. Ces deux exemples historiques peuvent nous aider à comprendre la complexité d’une récession sur le plan de l’ampleur, de la durée et de la reprise. Comparaison avec les récessions précédentes – Taux d’emploi et de chômage Les derniers taux d’emploi et de chômage tirés de l’EPA indiquent que le plus récent ralentissement n’a pas été aussi prononcé que les récessions de 1981 et 1990. Toutefois, ce genre d’analyse dépend beaucoup de la date choisie comme point de départ d’une récession. Pour la présente analyse, nous avons utilisé les sommets d’emploi et les creux de chômage d’avant la récession, février 2008 étant le sommet du taux d’emploi 63,9 % et janvier 2008, le creux du taux de chômage 5,8 %. Figure 2 Taux d’emploi – Canada, mensuel Figure 3 Taux de chômage – Canada, mensuel Version texte Taux de chômage – Canada, mensuel Pendant la récession de 1981, la rapide détérioration du marché du travail a occasionné une hausse du taux de chômage et une chute du taux d’emploi simultanées. Comme l’indiquent les figures 2 et 3, le taux de chômage a fortement augmenté de 5 % et le taux d’emploi a considérablement baissé de 3 % durant les 12 premiers mois de la récession de 1981. La période de 12 mois qui a suivi a été bien meilleure et le rétablissement du marché du travail canadien était bien amorcé 24 mois après le début de la récession. La situation vécue pendant la récession des années 1990 était nettement différente, et même si les premières répercussions sur le marché du travail n’ont pas été aussi graves que pendant la récession de 1981, beaucoup ont qualifié le milieu des années 1990 de période de reprise sans création d’emplois ». On le constate par les taux d’emploi et de chômage qui, quatre ans après le début du marasme des années 1990, n’avaient toujours pas retrouvé les niveaux d’avant la récession. Comme le montrent les figures 2 et 3, les indicateurs du marché du travail révèlent que les conséquences ont été relativement plus faibles pendant la récession de 2008-2009. La hausse du taux de chômage et la baisse du taux d’emploi n’ont pas été aussi marquées que pendant les deux récessions précédentes. En outre, le niveau global des taux d’emploi et de chômage indique que la situation du marché du travail avant le début de la récession était meilleure que celle enregistrée avant les deux récessions antérieures. Malgré la situation relativement meilleure du marché du travail pendant le plus récent ralentissement économique, les récessions ont des répercussions différentes selon la région, le secteur et le groupe actif sur le marché du travail. Les immigrants ont souvent été reconnus comme un groupe vulnérable, qui est plus durement touché par les ralentissements de l’économie et a beaucoup de difficulté à retourner sur le marché du travail après un de bas de page 3 C’est un élément important à prendre en compte dans la conjoncture économique actuelle. Il semble que la récession en 2008-2009 aura très peu d’incidence sur les besoins du marché du travail à long terme; ce seront plutôt les tendances sous-jacentes engendrées par le vieillissement de la population y compris le ralentissement de la croissance de la population active et les nouvelles pénuries de travailleurs spécialisés dans certaines professions et régions qui continueront d’être le facteur clé de l’offre de travailleurs à long terme. L’évolution du marché du travail canadien depuis les années 1980 L’évolution récente du marché du travail canadien peut être divisée en trois périodes. La première, soit de la fin des années 1980 au début des années 1990, a été marquée par une faiblesse généralisée en raison d’un ralentissement économique. Durant cette période, la politique monétaire a freiné délibérément l’économie afin de réduire les pressions inflationnistes. Cette situation a entraîné une baisse de la croissance de l’emploi, caractérisée par des pertes d’emploi généralisées en 1991. Le taux de chômage a fortement augmenté pour atteindre une moyenne annuelle de 11,4 % en 1993. La deuxième période, soit de 1993 à la fin des années 1990, a été marquée par une lente reprise après le ralentissement du début des années 1990. La création d’emplois a été lente et le taux d’activité, faible. La création d’emplois a finalement repris de la vigueur et le taux de chômage a diminué pour atteindre 6,8 % en 2000. Enfin, au début des années 2000, un marché du travail solide associé à un taux d’activité élevé a permis à l’offre et à la demande de travailleurs d’atteindre un certain équilibre, si bien que le taux de chômage est demeuré légèrement supérieur à 7 % pendant la première moitié de la décennie. Un certain resserrement pendant la deuxième moitié de la décennie a fait baisser le taux de chômage à 6 %, avant l’amorce d’une autre récession, en 2009. Figure 4 Taux de chômage au Canada, 1980-2011 Version texte Taux de chômage au Canada, 1980-2011 Examinons plus particulièrement la dernière période. À l’exclusion de la récession de 2008-2009, la croissance de l’emploi était en moyenne de 2 %, alors que la population active augmentait plus lentement, soit de 1,8 % par an. Le taux de chômage a donc diminué pendant la majeure partie des années 2000, une tendance qui devrait se poursuivre dans les années à venir alors que les baby-boomers prendront leur retraite en grand nombre, ce qui entraînera une croissance relativement plus faible de la population active. Le grand nombre de baby-boomers qui atteindront l’âge de la retraite fera augmenter le nombre de départs à la retraite au cours des dix prochaines années. Toutefois, le comportement de la population active peut être difficile à prévoir, et cela s’est manifesté de façon croissante au cours des 15 dernières années, comme le montre le mouvement à la hausse du taux d’activité des travailleurs âgés, à la figure 5. Selon des prévisions antérieures, le marché du travail canadien aurait dû enregistrer plus de départs à la retraite pendant la première décennie des années 2000, mais les prévisionnistes ont eu du mal à saisir le mouvement à la hausse du taux d’activité des travailleurs âgés. Figure 5 Taux d’activité des travailleurs âgés, 1976-2011
mata pencaharian masyarakat global